Kamis, 07 Juni 2012

KONSTIPASI PADA LANSIA


KONSTIPASI PADA LANJUT USIA
(Inkontinensia Alvi)


A.    PENGERTIAN
Konstipasi  atau sering disebut sembelit  adalah kelainan pada sistem pencernaan di mana seseorang mengalami pengerasan feses atau tinja yang berlebihan sehingga sulit untuk dibuang atau dikeluarkan dan dapat menyebabkan kesakitan yang hebat pada penderitanya.


B.     ETIOLOGI
Banyak lansia mengalami konstipasi sebagai akibat dari penumpukan sensasi saraf, tidak sempurnanya pengosongan usus, atau kegagalan dalam menanggapi sinyal untuk defekasi. Konstipasi merupakan masalah umum yang disebabkan oleh penurunan motilitas, kurang aktivitas, penurunan kekuatan dan tonus otot.

Faktor-faktor risiko konstipasi pada usia lanjut:
1.Obat-obatan: golongan antikolinergik, golongan narkotik, golongan analgetik,golongan diuretik, NSAID, kalsium antagonis, preparat kalsium, preparat besi, antasida aluminium, penyalahgunaan pencahar.
2.Kondisi neurologik: stroke, penyakit parkinson, trauma medula spinalis, neuropati diabetic.
3.Gangguan metabolik: hiperkalsemia, hipokalemia, hipotiroidisme.
4.Kausa psikologik: psikosis, depresi, demensia, kurang privasi untuk BAB, mengabaikan dorongan BAB, konstipasi imajiner.
5.Penyakit-penyakit saluran cerna: kanker kolon, divertikel, ileus, hernia, volvulus, iritable bowel syndrome, rektokel, wasir, fistula/fisura ani, inersiakolon.
6.Lain-lain: defisiensi diet dalam asupan cairan dan serat, imobilitas / kurang olahraga, bepergian jauh, paska tindakan bedah parut 


C.    MANIFESTASI KLINIS

Beberapa keluhan yang mungkin berhubungan dengan konstipasi adalah: (ASCRS,2002)
1.Kesulitan memulai dan menyelesaikan BAB
2.Mengejan keras saat BAB
3.Massa feses yang keras dan sulit keluar
4.Perasaan tidak tuntas saat BAB
5.Sakit pada daerah rectum saat BAB
6.Rasa sakit pada daerah perut saat BAB
7.Adanya perembesan feses cair pada pakaian dalam
8.Menggunakan bantuan jari-jari intuk mengeluarkan feses
9.Menggunakan obat-obat pencahar untuk bisa BAB


D.    TANDA DAN GEJALA
Gejala dan tanda akan berbeda antara seseorang dengan seseorang yang lain, karena pola makanhormon, gaya hidup dan bentuk usus besar setiap orang berbeda-beda, tetapi biasanya gejala dan tanda yang umum ditemukan pada sebagian besar atau kadang-kadang beberapa penderitanya adalah sebagai berikut:
1.       Perut terasa begah, penuh, dan bahkan terasa kaku karena tumpukan tinja (jika tinja sudah tertumpuk sekitar 1 minggu atau lebih, perut penderita dapat terlihat seperti sedang hamil).
2.       Tinja menjadi lebih keras, panas, dan berwarna lebih gelap daripada biasanya, dan jumlahnya lebih sedikit daripada biasanya (bahkan dapat berbentuk bulat-bulat kecil bila sudah parah).
3.       Pada saat buang air besar tinja sulit dikeluarkan atau dibuang, kadang-kadang harus mengejan ataupun  menekan-nekan  perut  terlebih dahulu supaya dapat mengeluarkan tinja.
4.       Terdengar bunyi-bunyian dalam perut.
5.       Bagian anus terasa penuh, dan seperti terganjal sesuatu disertai sakit akibat bergesekan dengan tinja yang panas dan keras.
6.       Frekuensi buang angin meningkat disertai bau yang lebih busuk daripada biasanya (jika kram perutnya parah, bahkan penderita akan kesulitan atau sama sekali tidak bisa buang angin).
7.       Menurunnya frekuensi buang air besar, dan meningkatnya waktu transit buang air besar (biasanya buang air besar menjadi 3 hari sekali atau lebih).
8.       Terkadang mengalami mual bahkan muntah jika sudah parah.
Suatu batasan dari konstipasi diusulkan oleh Holson, meliputi paling sedikit 2 dari keluhan di bawah ini dan terjadi dalam waktu 3 bulan :
1. Konsistensi feses yang keras;
2. Mengejan dengan keras saat BAB;
3. Rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB;
4. Frekuensi BAB 2 kali seminggu atau kurang.

International Workshop on Constipation berusaha lebih jelas memberikan batasan konstipasi. Berdasarkan rekomendasinya, konstipasi dikategorikan dalam dua golongan :
1.      Konstipasi fungsional, Konstipasi fungsional disebabkan waktu  perjalanan yang lambat dari feses, sedangkan penundaan pada muara rektosigmoid menunjukkan adanya disfungsi anorektal. Yang terakhir ditandai adanya perasaan sumbatan pada anus.
2.      Konstipasi karena penundaan keluarnya feses pada muara  rektisigmoid. Konstipasi fungsional disebabkan waktu perjalanan yang lambat dari feses, sedangkan penundaan pada muara rektosigmoid menunjukkan adanya disfungsi anorektal. Yang terakhir ditandai adanya perasaan sumbatan pada anus.

E.     PATOFISIOLOGI


Defekasi merupakan suatu proses fisiologi yang menyertakan kerja otot-otot polosdan serat lintang, persarafan, sentral dan perifer, koordinasi sisitem reflek, kesadranyang baik dan kemampuan fisik untuk mencari tempat BAB. Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantarkan feses kerektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula rektum yang diikuti relaksasi sfingter anus interna. Untuk menghindarkan pengeluaran feses yang spontan, terjadi refleks kontraksi refleks anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang dilayani oleh syaraf pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk  BAB  dan  sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi, dan rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. Kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot elevator ani. Baik persyarafan simpatis ataupun Parasimpatis terlibat dalam proses ini. Patogenesis konstipasi bervariasi macam-macam, penyebabnya multipel, mencakup beberapa faktor yang tumpah tindih, motilitas kolon tidak terpengaruh dengan bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak mengakibatkan perlambatan perjalanan saluran cerna.
Pengurangan respon motorik sigmoid disebabkan karena berkurangnya inervasi instinsik akibat degenerasi pleksus myenterikus, sedangkan pengurangan rangsang saraf pada otot polos sirkuler menyebabkan memanjangnya waktu gerakan usus. Pada lansia mempunyai kadar plasma beta-endorfin yang meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor opiat endogen di usus. Ini dibuktikan dengan efek konstipasif sediaan opiat karena dapat menyebabkan relaksasi tonus otot kolon, motilitas berkurang dan menghambat refleks gaster-kolon. Terdapat kecenderungan  menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otot-otot polos berkaitan dengan usia khususnya pada wanita. Pada penderita konstipasi mempunyai kesulitan lebih besar untuk  mengeluarkan  feses yang kecil dan keras, menyebabkan upaya mengejan lebih keras dan lebih lama. Hal ini berakibat penekanan pada saraf  pudendus dengan kelemahan lebih lanjut.

F.     PEMERIKSAAN

Pemeriksaan fisik pada konstipasi sebagian besar tidak mendapatkan kelainan yang jelas. Namun demikian pemeriksaan fisik yang teliti dan menyeluruh diperlukan untuk menemukan kelainan yang berpotensi mempengaruhi fungsi usus besar. Pemeriksaan dimulai pada rongga mulut meliputi gigi geligi, adanya luka pada selaput lendir mulut dan tumor yang dapat mengganggu rasa pengecap dan proses menelan. Daerah perut diperiksa apakah ada pembesaran perut, peregangan atau  tonjolan. Perabaan permukaan perut untuk menilai kekuatan otot perut.  Perabaan  lebih dalam dapat mengetahui massa tinja di usus besar, adanya tumor atau pelebaran batang nadi. Pada pemeriksaan ketuk dicari pengumpulan gas berlebihan, pembesaran organ, cairan dalam rongga perut atau adanya massa tinja. Pemeriksaan dengan stetoskop digunakan untuk mendengarkan suara gerakan usus besar serta mengetahui adanya sumbatan usus. Sedang pemeriksaan dubur untuk mengetahui adanya wasir, hernia, fissure (retakan) atau fistula (hubungan abnormal pada saluran cerna), juga kemungkinan tumor di dubur yang bisa mengganggu proses buang air besar. Colok dubur memberi informasi tentang tegangan otot, dubur, adanya timbunan tinja, atau adanya darah. Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor risiko konstipasi seperti gula darah, kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia akibat keluarnya darah dari dubur. Anoskopi dianjurkan untuk menemukan hubungan abnormal pada saluran cerna, tukak, wasir, dan tumor. Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita konstipasi untuk mendeteksi adanya pemadatan tinja atau tinja keras yang menyumbat bahkan melubangi usus. Jika ada penurunan berat badan, anemia, keluarnya darah dari dubur atau riwayat keluarga dengan kanker usus besar perlu dilakukan kolonoskopi. Bagi sebagian orang konstipasi hanya sekadar mengganggu. Tapi, bagi sebagian kecil dapat menimbulkan komplikasi serius. Tinja dapat mengeras sekeras batu di poros usus (70 persen), usus besar (20 persen), dan pangkal usus besar (10 persen). Hal ini menyebabkan kesakitan dan meningkatkan risiko perawatan di rumah sakit dan berpotensi menimbulkan akibat yang fatal. Pada konstipasi kronis kadang-kadang terjadi demam sampai 39,5 derajat celcius, delirium (kebingungan dan penurunan kesadaran), perut tegang, bunyi usus melemah, penyimpangan irama jantung, pernapasan cepat karena peregangan sekat rongga badan. Pemadatan dan pengerasan tinja berat di muara usus besar bisa menekan kandung kemih menyebabkan retensi urine bahkan gagal ginjal serta hilangnya kendali otot lingkar dubur, sehingga keluar tinja tak terkontrol. Sering mengejan berlebihan menyebabkan turunnya poros usus.
                      
G.  PENATALAKSANAAN

1. Tatalaksana non farmakologik
      a). Cairan
Keadaan status hidrasi  yang buruk dapat menyebabkan konstipasi. Kecuali ada kontraindikasi, orang lanjut usia perlu diingatkan untuk minum sekurang kurangnya 6-8 gelas sehari (1500 ml cairan perhari) untuk mencegah dehidrasi. Asupan cairandapat dicapai bila tersedia cairan / minuman yang dibutuhkan di dekat pasien, demikian pula cairan yang berasal dari sup, sirup dan es. Asupan cairan perlu lebih banyak bagi mereka yang mengkonsumsi diuretik tetapi kondisi jantungnya stabil.
 b). Serat
Pada orang usia lanjut yang lebih muda, serat berguna menurunkan waktu transit(transit time). Pada orang lanjut usia disarankan agar mengkonsumsi serat skitar 6-10gram per hari. Ada juga yang menyarankan agar mengkonsumsi serat sebanyak 15-20 per hari. Serat berasal dari biji-bijian, sereal, beras merah, buah, sayur, kacang-kacangan. Serat akan memfasilitasi gerakan usus dengan meningkatkan masa tinjadan mengurangi waktu transit usus. Serat juga menyediakan substrat untuk bakteri kolon, dengan produksi gas dan asam lemak rantai pendek yang meningkatkan gumpalan tinja. Perlu diingat serat tidaklah efektif tanpa cairan yang cukup, dan dikontraindikasikan pada pasien dengan impaksi tinja (skibala) atau dilatasi kolon. Peningkatan jumlah serat dapat menyebabkan gejala kembung, banyak gas dan buang besar tidak teratur terutama pada 2-3 minggu pertama, yang sering kali menimbulkan ketidak patuhan obat.
c). Bowel training
Pada pasien yang  mengalami  penurunan  sensasi akan mudah lupa untuk buang air  besar. Hal tersebut akan menyebabkan rektum lebih mengembang karena adanya  penumpukan feses. Membuat jadwal untuk buang air besar merupakan langkah awal yang lebih baik  untuk dilakukan pada pasien tersebut, dan baik juga diterapkan  pada pasien usia lanjut yang mengalami gangguan kognitif. Pada pasien yang sudah memiliki kebiasaan buang air besar pada waktu yang teratur, dianjurkan meneruskan kebiasaan  teresebut. Sedangkan pada pasien yang tidak memiliki jadwal teratur untuk  buang air besar, waktu yang baik untuk buang air besar adalah setelah sarapan dan makan malam.
d).  Latihan jasmani                                                                                               
Jalan kaki setiap pagi adalah bentuk  latihan jasmani yang sederhana tetapi bermanfat bagi orang  usia  lanjut yang masih mampu berjalan. Jalan kaki satu setengah  jam setelah makan cukup membantu. Bagi mereka yang tidak mampu bangun dari tampat tidur, dapat didudukkan atau didudukkan atau diberdirikan disekitar tempat tidur.
Positioning bagi pasien usia lanjut yang tidak dapat bergerak, meninggalkan tempat tidurnya menuju ke kursi beberapa kali dengan interval 15 menit, adalah salah satu cara untuk mencegah ulkus dekubitus. Tentu saja pasien yang mengalami tirah baring dapat dibantu dengan menyediakan  toilet  atau komod  dengan tempat tidur, jangan diberi bed pan. Mengurut perut dengan hati-hati mungkin dapat pula dilakukan untuk merangsang gerakan usus.
e).  Evaluasi penggunaan obat
Evaluasi yang   seksama tentang penggunaan obat-obatan perlu dilakukan untuk mengeliminasi, mengurangi dosis, atau mengganti obat yang diperkirakan menimbulkan konstipasi. Obat anti depresan, obat Parkinson merupakan obat yang potensial menimbulkan konstipasi. Obat yang mengandung zat besi juga cenderung  menimbulkan konstipasi, demikian obat anti hipertensi (antagonis kalsium). Anti kolinergik lain dan juga narkotik merupakan obat-obatan yang sering pula menyebabkan konstipasi. 
 
2. Tatalaksana farmakologik
a).  Pencahar pembentuk tinja (pencahar bulk/bulk laxative) Pencahar bulk merupakan 25% pencahar yang beredar di pasaran. Sediaan yang ada merupakan bentuk serat alamiah non-wheat seperti pysilium dan isophagula husk, dan senyawa sintetik seperti metal selulosa. Bulking agent sistetik dan serat natural sama-sama efektif dalam meningkatkan frekuensi dan volume tinja. Obat ini tidak menyebabkan malabsorbsi zat besi atau kalsium pada orang usia lanjut, tidak seperti bran yang tidak diproses. Pencahar bulk  terbukti  menurunkan  konstipasi pada orangusia lanjut dan nyeri defekai pada hemoroid. Sama  halnya dengan serat, obat ini juga harus diimbangi dengan asupan cairan. 
b)   Pelembut tinja
Docusate  sering kali direkomendasikan dan digunakan oleh orang lanjut usia sebagai pencahar dan sebagai pelembut tinja. Docusate sodium bertindak sebagai surfaktan, menurunkan  tegangan permukaan feses untuk membiarakan air masuk dan memperlunak feses. Docusate sebenarnya tidak dapat menolong  konstipasi yang kronik, penggunaannya sebaiknya dibatasi pada situasi dimana mangedan harus dicegah.
c)   Pencahar
Stimulan senna merupakan obat yang aman digunakan oleh orang usia lanjut. Senna meningkatkan peristaltik di kolon distal dan menstimulasi peristaltik diikuti dengan evakuasi feses yang lunak. Pemberian 20 mg senna per hari selama 6 bulan oleh pasien berusia lebih dari 80 tahun tidak menyebabkan kehilangan protein atauelektrolit. Senna umumnya menginduksi evakuasi tinja 8-12 jam setelah pemberian.Orang usia lanjut biasanya memerlukan waktu yang lebih lama yakni sampai dengan10 minggu sebelum  mencapai kebiasaan defekasi yang teratur. Pemberian sebelum tidur malam mengurangi risiko inkontininsia fekal malam hari dan dosis juga harus ditritasi berdasarkan respon  individu. Terapi dengan kodil supositoria memiliki absorbsi sistemik minimal dan sangat menolong untuk mengatasi diskezia rectal pada usia lanjut. Sebaiknya diberikan  segera setelah  makan pagi secara supositoria untuk  mendapatkan  efek refleks gastrokolik. Penggunaan rutin setiap hari dapat menyebabkan sensasi terbakar pada rectum, jadi sebaiknya digunakan secara rutin, melainkan sekitar 3 kali semingg.

PENANGANAN
Penanganan sembelit tergantung pada penyebabnya. Bila penyebabnya adalah gaya hidup, penanganan terbaik adalah mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat. Dokter mungkin juga meresepkan obat-obatan berikut untuk meringankan sembelit:
·         Agen penggumpal (bulking agents), yang tidak harus berupa obat, untuk melunakkan dan membentuk feses.
·         Obat pencahar stimulan yang menyebabkan otot-otot usus berkontraksi.
·         Agen osmotik yang meningkatkan jumlah air dalam tinja dengan menarik air dari lapisan usus.
·         Obat deterjen yang memecah lapisan permukaan tinja, menyebabkan air menembus dan melunakkannya.
Sembelit yang disebabkan oleh penyakit, gangguan hormonal dan penyumbatan, penanganan harus dilakukan dengan menghilangkan penyebab yang mendasarinya.   Jika sembelit disebabkan oleh konsumsi obat-obatan tertentu, penggantian atau modifikasi dosis obat mungkin diperlukan.
“Mengapa  mengalami konstipasi?” Pertanyaan ini mungkin hinggap di pikiran KITA. Jawabannya mungkin ada di daftar berikut ini.
  • Jumlah asupan air yang kurang atau dehidrasi.
  • Kurang serat.
  • Tidak peduli pada sinyal-sinyal yang dikirimkan oleh perut, bahkan sering menunda desakan untuk BAB.
  • Kurang aktivitas fisik, terutama pada manula.
  • Irritable bowel syndrome.
  • Perubahan gaya hidup atau rutinitas, seperti kehamilan, penuaan, atau perjalanan ke luar kota.
  • Sedang tidak enak badan.
  • Penggunaan obat pencahar yang terlalu sering atau berlebihan.
  • Penyakit tertentu, seperti stroke, diabetes, penyakit tiroid, atau Parkinson’s.
  • Gangguan pada usus besar atau dubur.
  • Obat-obatan tertentu, seperti pereda rasa sakit atau penurun tekanan darah.
  • Gangguan hormonal, seperti kelenjar tiroid yang tidak aktif.
  • Wasir.
  • Tubuh kekurangan garam karena muntah atau diare.
  • Cedera sumsum tulang belakang yang dapat mempengaruhi saraf-saraf yang berhubungan dengan usus.

DAFTAR  PUSTAKA


Alimul Aziz. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan

Perry, Potter. 2005. Fundamental keperawatan, edisi 4, volume 1. Jakarta : EGC

Perry, Potter. 2005. Fundamental keperawatan, edisi 4, volume 2. Jakarta : EGC

http://www.proses_pencernaan_makanan.html

http://www.siklus_alami_tubuh_dalam_proses_pencernaan_makanan.html