KONSTIPASI PADA LANJUT USIA
(Inkontinensia Alvi)
A. PENGERTIAN
Konstipasi atau sering disebut sembelit adalah kelainan pada sistem pencernaan di mana seseorang mengalami pengerasan feses atau tinja yang berlebihan sehingga sulit untuk dibuang atau dikeluarkan dan
dapat menyebabkan kesakitan yang hebat pada penderitanya.
B. ETIOLOGI
Banyak lansia mengalami
konstipasi sebagai akibat dari penumpukan sensasi saraf, tidak sempurnanya
pengosongan usus, atau kegagalan dalam menanggapi sinyal untuk defekasi. Konstipasi merupakan masalah umum
yang disebabkan oleh penurunan motilitas, kurang aktivitas, penurunan
kekuatan dan tonus otot.
Faktor-faktor risiko konstipasi pada
usia lanjut:
1.Obat-obatan: golongan antikolinergik, golongan
narkotik, golongan analgetik,golongan diuretik, NSAID, kalsium antagonis, preparat kalsium,
preparat besi, antasida aluminium, penyalahgunaan pencahar.
2.Kondisi neurologik: stroke, penyakit parkinson,
trauma medula spinalis, neuropati diabetic.
3.Gangguan metabolik: hiperkalsemia, hipokalemia,
hipotiroidisme.
4.Kausa psikologik: psikosis, depresi, demensia,
kurang privasi untuk BAB, mengabaikan
dorongan BAB, konstipasi imajiner.
5.Penyakit-penyakit saluran cerna: kanker kolon,
divertikel, ileus, hernia, volvulus, iritable bowel syndrome, rektokel,
wasir, fistula/fisura ani, inersiakolon.
6.Lain-lain: defisiensi diet dalam asupan cairan dan
serat, imobilitas / kurang olahraga,
bepergian jauh, paska tindakan bedah parut
C. MANIFESTASI KLINIS
Beberapa
keluhan yang mungkin berhubungan dengan konstipasi adalah: (ASCRS,2002)
1.Kesulitan memulai dan menyelesaikan BAB
2.Mengejan keras saat BAB
3.Massa feses yang keras dan sulit keluar
4.Perasaan tidak tuntas saat BAB
5.Sakit pada daerah rectum saat BAB
6.Rasa sakit pada daerah perut saat BAB
7.Adanya perembesan feses cair pada pakaian dalam
8.Menggunakan bantuan jari-jari intuk mengeluarkan
feses
9.Menggunakan obat-obat pencahar untuk bisa BAB
D. TANDA DAN GEJALA
Gejala dan tanda akan berbeda antara seseorang dengan
seseorang yang lain, karena pola makan, hormon, gaya hidup dan bentuk usus besar setiap orang
berbeda-beda, tetapi biasanya gejala dan tanda yang umum ditemukan pada
sebagian besar atau kadang-kadang beberapa penderitanya adalah sebagai berikut:
1.
Perut terasa begah, penuh, dan bahkan terasa
kaku karena tumpukan tinja (jika tinja sudah tertumpuk sekitar 1 minggu atau
lebih, perut penderita dapat terlihat seperti sedang hamil).
2. Tinja menjadi
lebih keras, panas, dan berwarna lebih gelap daripada biasanya, dan jumlahnya
lebih sedikit daripada biasanya (bahkan dapat berbentuk bulat-bulat kecil bila
sudah parah).
3. Pada saat buang
air besar tinja sulit dikeluarkan atau dibuang, kadang-kadang harus mengejan
ataupun menekan-nekan perut terlebih dahulu supaya dapat mengeluarkan tinja.
5. Bagian anus
terasa penuh, dan seperti terganjal sesuatu disertai sakit akibat bergesekan
dengan tinja yang panas dan keras.
6. Frekuensi buang angin meningkat disertai bau yang
lebih busuk daripada biasanya (jika kram perutnya parah, bahkan penderita akan
kesulitan atau sama sekali tidak bisa buang angin).
7. Menurunnya
frekuensi buang air besar, dan meningkatnya waktu transit buang air besar
(biasanya buang air besar menjadi 3 hari sekali atau lebih).
8. Terkadang
mengalami mual bahkan muntah jika sudah parah.
Suatu batasan dari konstipasi
diusulkan oleh Holson, meliputi paling sedikit 2 dari keluhan di bawah ini dan
terjadi dalam waktu 3 bulan :
1. Konsistensi feses yang keras;
2. Mengejan dengan keras saat BAB;
3. Rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB;
4. Frekuensi BAB 2 kali seminggu atau kurang.
International Workshop on
Constipation berusaha lebih jelas memberikan batasan konstipasi.
Berdasarkan rekomendasinya, konstipasi dikategorikan dalam dua golongan :
1.
Konstipasi fungsional, Konstipasi fungsional
disebabkan waktu perjalanan yang lambat
dari feses, sedangkan penundaan pada muara rektosigmoid menunjukkan adanya
disfungsi anorektal. Yang terakhir ditandai adanya perasaan sumbatan pada anus.
2.
Konstipasi karena penundaan keluarnya feses pada
muara rektisigmoid. Konstipasi
fungsional disebabkan waktu perjalanan yang lambat dari feses, sedangkan
penundaan pada muara rektosigmoid menunjukkan adanya disfungsi anorektal. Yang
terakhir ditandai adanya perasaan sumbatan pada anus.
E. PATOFISIOLOGI
Defekasi merupakan suatu proses fisiologi yang
menyertakan kerja otot-otot polosdan serat lintang, persarafan, sentral dan
perifer, koordinasi sisitem reflek, kesadranyang baik dan kemampuan fisik untuk
mencari tempat BAB. Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantarkan
feses kerektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula rektum
yang diikuti relaksasi
sfingter anus interna. Untuk menghindarkan pengeluaran feses yang spontan, terjadi refleks kontraksi
refleks anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang dilayani oleh syaraf pudendus. Otak
menerima rangsang keinginan untuk BAB dan sfingter anus eksterna diperintahkan untuk
relaksasi, dan rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. Kontraksi ini akan
menaikkan tekanan dalam
perut, relaksasi sfingter dan otot elevator ani. Baik persyarafan simpatis ataupun Parasimpatis terlibat dalam proses
ini. Patogenesis
konstipasi bervariasi macam-macam, penyebabnya multipel, mencakup beberapa
faktor yang tumpah tindih, motilitas kolon tidak terpengaruh
dengan bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak mengakibatkan
perlambatan perjalanan saluran
cerna.
Pengurangan respon motorik
sigmoid disebabkan karena berkurangnya inervasi instinsik akibat
degenerasi pleksus myenterikus, sedangkan pengurangan rangsang saraf pada
otot polos sirkuler menyebabkan memanjangnya waktu gerakan usus. Pada lansia mempunyai kadar plasma
beta-endorfin yang meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor opiat endogen di usus.
Ini dibuktikan dengan
efek konstipasif sediaan opiat karena dapat menyebabkan relaksasi tonus otot kolon, motilitas
berkurang dan menghambat refleks gaster-kolon. Terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan
otot-otot polos berkaitan dengan usia khususnya pada wanita. Pada penderita konstipasi mempunyai
kesulitan lebih besar untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras, menyebabkan upaya mengejan lebih keras dan lebih lama.
Hal ini berakibat penekanan pada saraf pudendus dengan kelemahan
lebih lanjut.
F. PEMERIKSAAN
Pemeriksaan fisik pada
konstipasi sebagian besar tidak mendapatkan kelainan yang jelas. Namun demikian
pemeriksaan fisik yang teliti dan menyeluruh diperlukan untuk menemukan
kelainan yang berpotensi mempengaruhi fungsi usus besar. Pemeriksaan dimulai
pada rongga mulut meliputi gigi geligi, adanya luka pada selaput lendir mulut
dan tumor yang dapat mengganggu rasa pengecap dan proses menelan. Daerah perut diperiksa apakah ada
pembesaran perut, peregangan atau tonjolan. Perabaan permukaan perut
untuk menilai kekuatan otot perut. Perabaan lebih
dalam dapat mengetahui massa tinja di usus besar, adanya tumor atau pelebaran
batang nadi. Pada pemeriksaan
ketuk dicari pengumpulan gas berlebihan, pembesaran organ, cairan dalam rongga perut atau
adanya massa tinja. Pemeriksaan dengan stetoskop digunakan untuk mendengarkan
suara gerakan usus besar serta mengetahui adanya sumbatan usus. Sedang pemeriksaan dubur untuk
mengetahui adanya wasir, hernia, fissure (retakan) atau fistula (hubungan
abnormal pada saluran cerna), juga kemungkinan tumor di dubur yang bisa
mengganggu proses buang air besar. Colok dubur memberi informasi tentang
tegangan otot, dubur, adanya timbunan tinja, atau adanya darah. Pemeriksaan laboratorium dikaitkan
dengan upaya mendeteksi faktor risiko konstipasi seperti gula darah, kadar
hormon tiroid, elektrolit, anemia akibat keluarnya darah dari dubur. Anoskopi
dianjurkan untuk menemukan hubungan abnormal pada saluran cerna, tukak, wasir,
dan tumor. Foto polos perut
harus dikerjakan pada penderita konstipasi untuk mendeteksi adanya pemadatan
tinja atau tinja keras yang menyumbat bahkan melubangi usus. Jika ada penurunan
berat badan, anemia, keluarnya darah dari dubur atau riwayat keluarga dengan
kanker usus besar perlu dilakukan kolonoskopi. Bagi sebagian orang konstipasi hanya sekadar
mengganggu. Tapi, bagi sebagian kecil dapat menimbulkan komplikasi serius.
Tinja dapat mengeras sekeras batu di poros usus (70 persen), usus besar (20
persen), dan pangkal usus besar (10 persen). Hal ini menyebabkan kesakitan dan
meningkatkan risiko perawatan di rumah sakit dan berpotensi menimbulkan akibat
yang fatal. Pada
konstipasi kronis kadang-kadang terjadi demam sampai 39,5 derajat celcius,
delirium (kebingungan dan penurunan kesadaran), perut tegang, bunyi usus
melemah, penyimpangan irama jantung, pernapasan cepat karena peregangan sekat
rongga badan. Pemadatan dan pengerasan tinja berat di muara usus besar bisa
menekan kandung kemih menyebabkan retensi urine bahkan gagal ginjal serta
hilangnya kendali otot lingkar dubur, sehingga keluar tinja tak terkontrol.
Sering mengejan berlebihan menyebabkan turunnya poros usus.
G. PENATALAKSANAAN
1. Tatalaksana non farmakologik
a).
Cairan
Keadaan status hidrasi yang buruk dapat menyebabkan konstipasi.
Kecuali ada kontraindikasi, orang lanjut usia perlu diingatkan untuk minum
sekurang kurangnya 6-8 gelas sehari (1500 ml cairan perhari) untuk mencegah
dehidrasi. Asupan cairandapat dicapai bila tersedia cairan / minuman yang
dibutuhkan di dekat pasien, demikian pula cairan yang berasal dari sup, sirup dan es. Asupan cairan perlu
lebih banyak bagi mereka yang mengkonsumsi diuretik tetapi kondisi
jantungnya stabil.
b). Serat
Pada orang usia lanjut yang lebih muda, serat berguna menurunkan waktu
transit(transit time). Pada orang lanjut usia disarankan agar mengkonsumsi
serat skitar 6-10gram per hari. Ada juga yang menyarankan agar mengkonsumsi
serat sebanyak 15-20 per hari. Serat berasal dari biji-bijian, sereal,
beras merah, buah, sayur, kacang-kacangan. Serat akan memfasilitasi gerakan
usus dengan meningkatkan masa tinjadan mengurangi waktu transit usus. Serat
juga menyediakan substrat untuk bakteri kolon, dengan produksi gas dan asam lemak
rantai pendek yang meningkatkan gumpalan tinja. Perlu diingat serat tidaklah efektif tanpa cairan yang
cukup, dan dikontraindikasikan
pada pasien dengan impaksi tinja (skibala) atau dilatasi kolon. Peningkatan jumlah serat dapat
menyebabkan gejala kembung, banyak gas dan buang besar tidak teratur
terutama pada 2-3 minggu pertama, yang sering kali menimbulkan ketidak patuhan obat.
c). Bowel training
Pada pasien yang mengalami penurunan sensasi akan mudah lupa untuk buang
air besar. Hal tersebut akan menyebabkan rektum lebih mengembang
karena adanya penumpukan
feses. Membuat jadwal untuk buang air besar merupakan langkah awal yang lebih baik untuk dilakukan pada pasien tersebut, dan baik
juga diterapkan pada pasien usia lanjut yang mengalami
gangguan kognitif. Pada pasien yang sudah memiliki kebiasaan buang air besar pada waktu
yang teratur, dianjurkan meneruskan kebiasaan teresebut. Sedangkan pada pasien yang tidak
memiliki jadwal teratur untuk buang air besar, waktu yang baik untuk
buang air besar adalah setelah sarapan dan makan malam.
d). Latihan jasmani
Jalan kaki setiap pagi adalah bentuk latihan jasmani yang sederhana tetapi
bermanfat bagi orang usia lanjut yang masih mampu berjalan. Jalan kaki
satu setengah jam setelah makan cukup
membantu. Bagi mereka yang tidak mampu bangun dari tampat tidur, dapat
didudukkan atau didudukkan atau diberdirikan disekitar tempat tidur.
Positioning bagi pasien usia lanjut yang tidak dapat bergerak,
meninggalkan tempat tidurnya menuju ke kursi beberapa kali dengan interval 15 menit, adalah
salah satu cara untuk
mencegah ulkus dekubitus. Tentu saja pasien yang mengalami tirah baring dapat dibantu dengan menyediakan toilet atau komod dengan tempat tidur, jangan diberi bed pan. Mengurut perut dengan hati-hati
mungkin dapat pula dilakukan untuk merangsang gerakan usus.
e). Evaluasi
penggunaan obat
Evaluasi yang seksama tentang penggunaan obat-obatan perlu
dilakukan untuk mengeliminasi, mengurangi dosis, atau mengganti obat yang
diperkirakan menimbulkan konstipasi. Obat anti depresan, obat
Parkinson merupakan obat yang potensial menimbulkan konstipasi. Obat yang
mengandung zat besi juga cenderung menimbulkan konstipasi, demikian obat
anti hipertensi (antagonis kalsium). Anti kolinergik lain
dan juga narkotik merupakan obat-obatan yang sering pula menyebabkan konstipasi.
2. Tatalaksana farmakologik
a). Pencahar pembentuk tinja
(pencahar bulk/bulk laxative) Pencahar bulk merupakan 25% pencahar yang beredar di pasaran. Sediaan yang
ada merupakan bentuk
serat alamiah non-wheat seperti
pysilium dan isophagula husk, dan senyawa sintetik seperti metal selulosa. Bulking
agent sistetik dan serat natural sama-sama efektif dalam meningkatkan frekuensi dan volume tinja. Obat ini
tidak menyebabkan malabsorbsi zat besi atau kalsium pada orang usia
lanjut, tidak seperti bran yang tidak diproses. Pencahar bulk terbukti menurunkan konstipasi pada orangusia lanjut dan nyeri defekai pada hemoroid. Sama halnya dengan serat, obat ini juga harus diimbangi dengan asupan cairan.
b) Pelembut tinja
Docusate sering kali direkomendasikan dan digunakan oleh orang lanjut usia
sebagai pencahar dan sebagai pelembut tinja. Docusate sodium bertindak
sebagai surfaktan, menurunkan tegangan
permukaan feses untuk membiarakan air masuk dan memperlunak feses. Docusate sebenarnya tidak dapat menolong konstipasi yang kronik, penggunaannya sebaiknya dibatasi pada situasi dimana mangedan harus dicegah.
c) Pencahar
Stimulan
senna merupakan obat
yang aman digunakan oleh orang usia lanjut. Senna meningkatkan peristaltik di kolon distal dan
menstimulasi peristaltik diikuti dengan evakuasi feses yang lunak. Pemberian 20 mg
senna per hari selama 6 bulan oleh pasien berusia lebih dari 80 tahun
tidak menyebabkan kehilangan protein atauelektrolit. Senna umumnya menginduksi
evakuasi tinja 8-12 jam setelah pemberian.Orang usia lanjut biasanya memerlukan
waktu yang lebih lama yakni sampai dengan10 minggu sebelum mencapai kebiasaan defekasi yang teratur.
Pemberian sebelum tidur malam mengurangi risiko inkontininsia fekal malam hari dan dosis juga
harus ditritasi
berdasarkan respon individu. Terapi dengan kodil
supositoria memiliki absorbsi sistemik minimal dan sangat menolong untuk mengatasi diskezia
rectal pada usia lanjut.
Sebaiknya diberikan segera setelah makan pagi secara supositoria untuk mendapatkan efek
refleks gastrokolik. Penggunaan rutin setiap hari dapat menyebabkan sensasi terbakar pada rectum, jadi
sebaiknya digunakan secara rutin, melainkan sekitar 3 kali semingg.
PENANGANAN
Penanganan sembelit tergantung pada penyebabnya. Bila penyebabnya adalah
gaya hidup, penanganan terbaik adalah mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat.
Dokter mungkin juga meresepkan obat-obatan berikut untuk meringankan sembelit:
·
Agen penggumpal (bulking agents), yang
tidak harus berupa obat, untuk melunakkan dan membentuk feses.
·
Obat pencahar stimulan yang menyebabkan
otot-otot usus berkontraksi.
·
Agen osmotik yang meningkatkan jumlah air dalam
tinja dengan menarik air dari lapisan usus.
·
Obat deterjen yang memecah lapisan permukaan
tinja, menyebabkan air menembus dan melunakkannya.
Sembelit yang disebabkan oleh penyakit, gangguan hormonal dan penyumbatan,
penanganan harus dilakukan dengan menghilangkan penyebab yang mendasarinya.
Jika sembelit disebabkan oleh konsumsi obat-obatan tertentu,
penggantian atau modifikasi dosis obat mungkin diperlukan.
“Mengapa mengalami konstipasi?” Pertanyaan ini mungkin hinggap
di pikiran KITA. Jawabannya mungkin ada di daftar
berikut ini.
- Jumlah asupan air yang kurang atau dehidrasi.
- Kurang serat.
- Tidak peduli pada sinyal-sinyal yang dikirimkan oleh perut, bahkan sering menunda desakan untuk BAB.
- Kurang aktivitas fisik, terutama pada manula.
- Irritable bowel syndrome.
- Perubahan gaya hidup atau rutinitas, seperti kehamilan, penuaan, atau perjalanan ke luar kota.
- Sedang tidak enak badan.
- Penggunaan obat pencahar yang terlalu sering atau berlebihan.
- Penyakit tertentu, seperti stroke, diabetes, penyakit tiroid, atau Parkinson’s.
- Gangguan pada usus besar atau dubur.
- Obat-obatan tertentu, seperti pereda rasa sakit atau penurun tekanan darah.
- Gangguan hormonal, seperti kelenjar tiroid yang tidak aktif.
- Wasir.
- Tubuh kekurangan garam karena muntah atau diare.
- Cedera sumsum tulang belakang yang dapat mempengaruhi saraf-saraf yang berhubungan dengan usus.
DAFTAR PUSTAKA
Alimul Aziz. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan
Perry, Potter. 2005. Fundamental keperawatan, edisi 4, volume 1. Jakarta : EGC
Perry, Potter. 2005. Fundamental keperawatan, edisi 4, volume 2. Jakarta : EGC
http://www.proses_pencernaan_makanan.html
http://www.siklus_alami_tubuh_dalam_proses_pencernaan_makanan.html